Layaknya bulan suci Ramadan yang penuh berkah, bulan Syawal juga memiliki keistimewaan. Syawal berasal dari kata ‘syala’ yang berarti naik atau meninggi. Pada bulan Syawal ini, kedudukan dan derajat kaum muslimin dan muslimat memang meningkati di sisi Allah SWT karena telah berhasil melewati bulan ujian dan beribadah selama Ramadan.
Syawal juga merupakan bulan pembuktian nilai-nilai takwa, sebagai ajang untuk membuktikan bahwa umat Islam mampu mempertahankan dan meningkatkan keimanannya dan tidak hanya sewaktu Ramadan saja.
Jika pada Ramadan kita mendapatkan lebih banyak pahala dengan menunaikan kewajiban berpuasa dan memperbanyak amal kebaikan serta ibadah sunah, maka Syawal adalah bulan untuk meningkatkannya.
Dikutip dari Nu Online, “Syawal itu rafa’a, bulan kenaikan, bulan yang banyak naiknya,” ujar Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, pada akhir Ramadan lalu. Kyai asal Surabaya, Jawa Timur, ini juga mengatakan bahwa ulama-ulama terdahulu sering mengadakan kenaikan kelas atau memulai ajaran baru pada bulan Syawal. Hal itu, lanjutnya, ada kesesuaian dengan arti kata Syawal yaitu bulan kenaikan tingkat.
Ditilik dari sisi sejarah Islam, berbagai peristiwa penting juga terjadi di bulan Syawal. Mulai dari Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Hunain, hingga pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Ummu Salamah dan Aisyah.
Anjuran Berpuasa
Kita semua tahu bahwa di bulan Syawal juga dianjurkan untuk menjalankan ibadah puasa selama 6 hari. Beberapa hadis juga mengatakan mengenai hal tersebut.
صِيَامٌ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سَتَّةِ أيَّامِ بَعْدَهُ بِشَهْرَيْنِ فَذلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
“Puasa Ramadan (pahalanya) seperti puasa 10 bulan, dan berpuasa enam hari setelahnya (Syawal) pahalanya seperti puasa dua bulan, maka jumlahnya menjadi satu tahun.” (Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, al-Jamius Shagir, juz 2, h. 189)
قال صلّى اللَّهُ عليه وسلّم من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Barang siapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Dengan hadis di atas, para ulama ahli hadis dan ahli fiqih mengatakan bahwa berpuasa 6 hari pada bulan Syawal hukumnya sunah, juga karena Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan amalan puasa tersebut.
Namun, yang terpenting dari dianjurkannya puasa pada bulan Syawal bukanlah sekadar tentang sunahnya. Lebih dari itu, syariat Islam ingin memberikan jalan gampang pada pemeluknya untuk bisa mendapatkan pahala sebanding dengan puasa satu tahun, tanpa harus melakukannya selama satu tahun penuh. Sedangkan berpuasa selama satu tahun penuh hukumnya makruh.
Keutamaan Berpuasa Syawal
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan lima keutamaan yang kita dapatkan dari melaksanakan puasa sunah di bulan Syawal, di antaranya adalah:
1. Puasa sunah Syawal sebagai penyempurna puasa Ramadan
Untuk menyempurnakan salat fardu, kita dianjurkan melaksanakan salat sunnah rawatib, yaitu qabliyah dan bakdiyah. Dengan melaksanakan salat sunah rawatib, maka salat sunah fardu akan menjadi sempurna. Begitu pun puasa sunah Syawal yang dapat menyempurnakan puasa Ramadan. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
“Amalan seorang hamba yang dihisab pertama kali di hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat. Jika salatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi. Jika ada kekurangan pada salat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, ‘Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah yang dapat menyempurnakan kekurangan ibadah wajibnya?’ Kemudian yang demikian berlaku pada seluruh amal wajibnya” (HR at-Tirmidzi).
2. Menyempurnakan pahala puasa menjadi pahala puasa setahun
Hal ini sebagaimana yang dijanjikan dalam hadis Rasulullah ﷺ dalam kitab Shahih Muslim, “Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti pahala berpuasa setahun.”
3. Membiasakan puasa setelah selesainya puasa Ramadan adalah tanda diterimanya puasa Ramadan kita
Sesungguhnya Allah SWT apabila menerima amal kebaikan seseorang, akan menganugerahi dirinya untuk berbuat kebaikan setelah itu.
Sebagian ulama mengatakan:
ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة وعدم قبولها
Ganjaran perbuatan baik adalah perbuatan baik setelahnya, maka siapa saja yang berbuat kebaikan kemudian mengikutkannya dengan perbuatan baik lainnya maka hal yang demikian adalah tanda diterimanya kebaikan yang pertama, pun halnya orang yang berbuat baik kemudian mengikutkannya dengan perbuatan buruk maka yang demikian adalah tanda ditolaknya kebaikan yang ia kerjakan.
4. Puasa sunah Syawal sebagai tanda syukur kita kepada Allah SWT
Melaksanakan puasa sunnah di bulan syawal merupakan tanda syukur kita kepada Allah SWT atas anugerah yang melimpah di bulan Ramadan berupa puasa, qiyamul lail (salat malam), zakat dan lain-lain. Puasa di bulan Ramadan sesungguhnya meniscayakan ampunan bagi orang yang menjalankannya. Hal ini didasari dengan hadis Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [وفي رواية]: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan rida Allah, maka dosanya yang lalu akan diampuni.” [dalam riwayat lain]: “Siapa saja yang menghidupkan malam hari bulan Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan rida Allah, maka dosanya yang lalu akan diampuni.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Karena ampunan inilah patutnya kita bersyukur kepada Allah dengan melakukan ketaatan berupa puasa Syawal.
5. Ibadah yang dilaksanakan pada bulan Ramadan tidak terputus
Dengan selesainya bulan suci Ramadan, bukan berarti ibadah yang kita amalkan selesai sudah. Hendaknya kita terus berusaha untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadah di bulan-bulan selanjutnya sebagaimana di bulan Ramadan. Puasa Syawal dapat dikatakan adalah salah satu bentuk usaha yang dapat kita lakukan untuk melestarikan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan.
Lima poin di atas disarikan dari kitab Lathâif al-Ma’ârif fîma li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif karya Ibnu Rajab al-Hanbali (Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, 1424/2004, hal. 219-223).
Semoga kita diberikan taufik dan kemampuan untuk melestarikan ibadah yang kita lakukan di bulan suci Ramadan, sehingga kita masuk kepada golongan orang-orang yang mendekat kepada Allah dengan perantara amalan-amalan sunnah sebagaimana dalam hadis qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku pun mencintainya.” (HR al-Bukhari)
Tata Cara Puasa Syawal
Imam ar-Ramli dalam kitabnya Fatawa ar-Ramli, pernah ditanya tentang seseorang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadan dan diganti pada bulan Syawal, apakah dia mendapatkan pahala qadha’ dan pahala 6 hari bulan Syawal, Imam ar-Ramli menjawab:
فأجاب: بأنه يحصل بصومه قضاء رمضان وإن نوى به غيره ويحصل له ثواب ستة من شوال وقد ذكر المسألة جماعة من المتأخرين
“Maka Imam ar-Ramli menjawab: Dia mendapatkan pahala qadha’ Ramadan bersama puasa 6 hari bulan Syawal, meskipun dengan niat lainnya. Dia juga mendapatkan pahala 6 hari bulan Syawal. Masalah ini telah disampaikan oleh para ulama generasi akhir (kontemporer)” (Imam ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, juz 2, h. 339).
Mayoritas ulama kalangan mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa berpuasa pada bulan Syawal boleh dilakukan secara terus-menerus (berturut-turut) setelah hari raya Idul Fitri, atau secara terpisah. Kedua cara ini sama-sama mendapatkan pahala sunah. Hanya saja, lebih baik dilakukan secara terus-menerus. (Lihat, al-Fawaidul Mukhtarah, h. 231)
Allah SWT menaruh keutamaan luar biasa bagi mereka yang melakukan puasa di bulan Syawal. Ada baiknya kita lihat keterangan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain berikut ini.
( و ) الرابع صوم ( ستة من شوال ) لحديث من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر ولقوله أيضا صيام رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة أي كصيامها فرضا وتحصل السنة بصومها متفرقة منفصلة عن يوم العيد لكن تتابعها واتصالها بيوم العيد أفضل وتفوت بفوات شوال ويسن قضاؤها
“Keempat adalah (puasa sunah enam hari di bulan Syawal) berdasarkan hadis, ‘Siapa yang berpuasa Ramadan, lalu mengiringinya dengan enam hari puasa di bulan Syawal, ia seakan puasa setahun penuh.’ Hadits lain mengatakan, puasa sebulan Ramadan setara dengan puasa sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Semua itu seakan setara dengan puasa (wajib) setahun penuh’. Keutamaan sunah puasa Syawal sudah diraih dengan memuasakannya secara terpisah dari hari Idul Fitri. Hanya saja memuasakannya secara berturut-turut lebih utama. Keutamaan sunah puasa Syawal luput seiring berakhirnya bulan Syawal. Tetapi dianjurkan mengqadhanya.” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, Al-Maarif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 197).
Uraian di atas cukup jelas menerangkan kapan waktu pelaksanaan puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Idealnya puasa sunah Syawal enam hari itu dilakukan persis setelah hari Raya Idhul Fitri, yakni pada 2-7 Syawal. Namun orang yang berpuasa di luar tanggal itu sekalipun tidak berurutan tetap mendapat keutamaan puasa Syawal seakan puasa wajib setahun penuh.
Bahkan orang yang mengqadha puasa atau menunaikan nazar puasanya di bulan Syawal tetap mendapat keutamaan seperti mereka yang melakukan puasa sunnah Syawal. Keterangan Syekh Ibrahim Al-Baijuri berikut ini kami kira cukup membantu.
وإن لم يصم رمضان كما نبه عليه بعض المتأخرين والظاهر كما قاله بعضهم حصول السنة بصومها عن قضاء أو نذر
“Puasa Syawal tetap dianjurkan meskipun seseorang tidak berpuasa Ramadan-seperti diingatkan sebagian ulama muta’akhirin. Tetapi yang jelas-seperti dikatakan sebagian ulama-seseorang mendapat keutamaan sunah puasa Syawal dengan cara melakukan puasa qadha atau puasa nazar (di bulan Syawal).” (Lihat Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ‘alâ Syarhil ‘Allâmah Ibni Qasim, Darul Fikr, Juz I, Halaman 214).
Sebagian ulama bahkan menerangkan bahwa orang yang melakukan puasa sunah seperti Senin-Kamis, puasa bîdh 12,13,15 yang disunahkan setiap bulan, atau puasa nabi Daud AS, tetap mendapat keutamaan puasa Syawal.
ومما يتكرر بتكرر السنة (ستة من شوال) وإن لم يعلم بها أو نفاها أو صامها عن نذر أو نفل آخر أو قضاء عن رمضان أو غيره. نعم لو صام شوالا قضاء عن رمضان وقصد تأخيرها عنه لم يحصل معه فيصومها من القعدة
“Salah satu puasa tahunan adalah (puasa enam hari di bulan Syawal) sekalipun orang itu tidak mengetahuinya, menafikannya, atau melakukan puasa nazar, puasa sunah lainnya, puasa qadha Ramadhan atau lainnya (di bulan Syawal). Tetapi, kalau ia melakukan puasa Ramadan di bulan Syawal dan ia sengaja menunda enam hari puasa hingga Syawal berlalu, maka ia tidak mendapat keutamaan sunah Syawal sehingga ia berpuasa sunah Syawal pada Dzul Qa‘dah.” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Qutul Habibil Gharib, Tausyih alâ Ibni Qasim, Darul Fikr, Beirut, 1996 M/1417 H, Halaman 117).
Berbagai sumber tersebut menunjukkan tentang betapa besarnya keutamaan puasa sunah Syawal. Jadi memang waktu pelaksanaannya yang ideal adalah enam hari berturut-turut setelah satu Syawal, tapi keutamaannya tetap bisa didapat bagi mereka yang berpuasa sunah tanpa berurutan di bulan Syawal.
———————————————————————————————————————————
Eka Budhi Setiani
Ustadzah Eka Budhi Setiani, Lc adalah salah satu penasihat syariah di Muslim Pro. Seorang hamba Allah yang mendalami ilmu Ushuluddin di Universitas Al-Azhar – Kairo, Mesir. Saat ini beliau mengabdikan ilmunya dengan mengajar di sebuah sekolah Islam yang dikelola oleh Dinas Pendidikan di sebuah provinsi. Selain itu, bersama suaminya, kini beliau juga mengelola pesantren sendiri di sebuah kota kecil di Provinsi Banten bernama Ponpes Balonk Faidhul Barokaat.